Homoseksualitas tidak lagi dikategorikan sebagai gangguan jiwa atau penyimpangan seksual. Bahkan istilah homoseksualitas sebagai orientasi seksual menyimpang itu tidak tepat dan menyesatkan karena memberi dampak negatif seperti stigmatisasi, pengucilan oleh masyarakat yang kurang mendapat informasi yang benar.

Demikian disampaikan psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr Lukas Mangindaan, SpKJ dalam seminar nasional "Seksualitas yang ditabukan: Tantangan Keberagaman" di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, hari ini, Selasa (11/11).

Dikatakan Lukas, penghapusan paham homoseksualitas sebagai gangguan jiwa adalah keputusan dari Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) pada 17 Mei 1990 dan sudah dicantumkan Depkes RI dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi II tahun 1983 (PPDGJ II) dan PPDGJ III (1993).

"Jadi sudah terbukti bahwa orientasi homoseksual tidak memenuhi kriteria gangguan jiwa atau mental," ujarnya.

Ia menjelaskan, homoseksualitas, biseksualitas maupun heteroseksualitas kini dikategorikan sebagai bagian dari identitas diri seseorang. "Identitas diri itu tak lain adalah ciri-ciri khas dari seseorang seperti nama, umur, jenis kelamin termasuk orientasi seksual (heteroseksual, biseksual, homoseksual). Sedangkan identitas diri perlu dibedakan dengan perilaku, karena identitas diri bersifat netral dan perlu diterima sebagaimana adanya, tetapi perilaku dapat bersifat positif, negatif, netral, dan lain-lain. Jadi jangan dicampurbaurkan identitas diri dengan perilaku," ujarnya.

Lukas menekankan perlunya melihat pelbagai jenis identitas diri sebagai bagian dari keberagaman manusia dan bersikap pluralistik tanpa sikap apriori. "Upaya untuk berempati yakni kemampuan untuk mengerti, menghayati dan menempatkan diri di tempat mereka yang terpinggirkan perlu dikembangkan. Sikap homofobia yang menyisihkan, melecehkan, diskriminasi dan mendapat perlakuan kekerasan pada kaum LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transjender) harus dihilangkan. Ini yang perlu disosialisasikan pada masyarakat," jelasnya.


Comment from Admind Dare To be Gay :

Artikle tersebut bukan berarti bahwa hal ini merupakan jawaban dari pelbagai permasalahan yang terjadi seputar kehidupan gay. Hal tersebut diatas bukanlah satu - satunya pemecahan terhadap legalitas gay di Indonesia. Setidaknya, akan menumbuhkan pemahaman yang lebih positif terhadap ruang dan gerak kehidupan gay di Indonesia. Namun, apapun bentuknya upaya itu kalau tidak dibarengi dengan tindakan dari individu yang lebih bijaksana dan menjaga kehidupannya lebih positif, maka sebesar apapun upaya untuk merubah stikma tidak akan pernah berhasil sampai kapanpun.

Kontribusi terpenting dalam permasalahan ini, terkait dengan artikel diatas adalah menciptakan pencitraan dan kepercayaan diri yang lebih baik lagi. Dimana sikap dan tindakan seorang gay haruslah mencerminkan jati diri yang berkualitas, positif dan produktif. Hal ini akan berpengaruh terhadap terbentuknya komunitas gay di Indonesia open minded dengan sikap yang handal dan profesional.

Sayangnya, masih banyak gay di Indonesia yang belum mampu untuk menghasilkan pencitraan diri yang lebih berkualitas. Alasan sosial, legalitas hukum dan agama nampaknya masih menjadi belenggu yang terus mengikat hati dan kehidupan mereka. Sudah saatnya untuk membebaskan diri dari dengan bertindak, bersikap dan berfikir lebih positif terhadap kehidupan gay itu sendiri.

Dare to be gay, How dare are you?

Comments (0)

Posting Komentar

Your Ad Here